Nama : Muhammad Nur
NPM : 15112022
Mempengaruhi Nilai Sosial dan Budaya
dalam Pemilu DKI JAKARTA
Pada pemilukada 2012 DKI JAKARTA mengalami dua putaran
dalam pencoblosan, hal ini terjadi karena persaingan yang sangat ketat
dalam hasil quick count ( perhitungan cepat ).
Warga DKI tentunya ingin ibukota ini teratasi dari berbagai
macam persoalan seperti kemacetan, kebanjiran, dan lainnya yang membuat
mantan gubernur DKI ( foke ) tidak dapat menyelesaikan dalam periode
yang dijabatnya 2007-2012. Sehingga dalam Kampanye pemilukada 2012 calon
gubernur saling menjatuhkan, hal ini terkait banyak partai yang
provokasikan calon yang satu dengan calon yang lainnya.
Sebenarnya nilai sosial budaya yang terkait dalam hal ini
dapat menyinggung RAS, POLITIK, SARA namun itu semua membuat ricuh para
pendukung masing-masing kadernya. Basuki ialah salah satu calon wakil
gubernur yang berpasangan dengan JOKOWI hal ini juga terkait dengan
agama yang dianut oleh Basuki sebab cawagub ini dalam misinya lebih
mengenai tempat peribadahan yang ada di Jakarta.
Nilai Sosial dan Budaya dalam permasalahan ini ketika
seseorang saling mempengaruhi dan membodohi para pemilih, para parpol
saling berbalas kata dalam Spanduk dan Baliho yang dipasang oleh
masing-masing kader. Berikut Materi yang akan saya bahas " Nilai
Kebudayaan dan Sosial "
Kebudayaan yaitu culture yang mengandung keseluruhan
pengertian nilai sosial,norma sosial,
ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik
yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Sedangkan pengertian dari nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat.
Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai.
Sedangkan pengertian dari nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat.
Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai.
http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial
Jadi dapat disimpulkan Nilai Sosial Budaya
yang terjadi dimasyarakat DKI JAKARTA ialah saling menghargai satu sama
lainnya walaupun ada sedikit perselisihan yang mengandung unsur SARA,
RAS, dan kontroversi lainnya namun permasalahan tersebut bisa diatasi
dengan sikap yang bijaksana oleh warga DKI yang mengikuti PEMILUKADA
2012
Lembaga Survei Diingatkan Jaga Kredibilitas & Independensi Di Pilkada DKI
Pilkada DKI Jakarta akan digelar
kurang dari 49 hari lagi. Persaingan antara kandidat kian memanas.Tim
sukses pasangan cagub dan cawagub DKI Jakarta melakukan berbagai cara
untuk memenangkan jagoannya dalam pertarungan di pilkada
DKI.
Salah satu cara yang diambil adalah mempengaruhi opini publik dengan menggunakan survei. Sehingga survei yang dihasilkan kehilangan nilai akurasi dan objektivitasnya.
Lembaga-lembaga survei diingatkan untuk tetap menjaga profesionalisme dan independensinya. Sebab, pilkada DKI tidak saja menjadi barometer bagi pemilu 2014 akan datang, tapi juga pertaruhan kredibilitas dan martabat lembaga survei sebagai institusi riset dan ilmiah.
"Kredibilitas lembaga survei ini akan dipertaruhkan di pilkada DKI. Kalau semata-mata hanya menguntungkan kandidat tertentu, tidak beda dengan timses. Tidak kredibel dan tidak bisa dipertanggungjawabkan," ujar dosen budaya dan ilmu politik dari Universitas Indonesia (UI), Yon Mahmudi kepada wartawan, Kamis (24/5/2012).
Menurutnya, beberapa survei yang dikeluarkan sejumlah lembaga survei belakangan ini sangat jelas menunjukan adanya perang survei untuk memenangkan kandidat tertentu. Menurut Yon, fenomena tersebut menjadi tidak sehat bagi pendidikan politik masyarakat.
Secara khusus, Yon menyoroti survei yang dikeluarkan sebuah lembaga survei yang menyebutkan tingkat elektabilitas pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli sebesar 49,8%.
"Kalau saya lihat sekarang ini kecenderungan pilkada ini persaingan sangat ketat. Kemudian juga muncul semacam perang survei di antara para kandidat. Memang kalau lihat situasinya saat ini, posisi saat ini (pasangan Foke-Nara) sebagai incumbent itu masuk akal kalau masih bertahan di posisi pertama, karena res yang dimiliki. Tapi tingkat elektabilitas turun, tidak sebesar yang disebutkan lembaga itu, 49,8%," ujar Yon.
Alasannya, dia menjelaskan, elektabilitas sebesar itu hanya dapat dicapai ketika kandidat yang bersaing hanya dua. Kalau kemudian yang disurvei adalah 6 pasang kandidat, maka terjadi penyebaran elektabilitas. Masing-masing kandidat mewakili kelompok yang ada di DKI Jakarta, dan memiliki basis masing-masing.
"Apalagi semua pasangan kandidat yang berkompetisi semuanya berkualitas. Harusnya tidak setinggi itu elektabilitas Foke-Nara. Semestinya dikisaran 30 persen lebih sebagaimana survei-survei yang lain, baru diikuti kandidat yang lain. Seperti Jokowi yang mulai rajin, dan Hidayat Nurwahid yang didukung partai yang kuat," imbuhnya.
Hal lain yang disorot dalam survei tersebut, menurut peneliti budaya politik UI ini, kecilnya sample yang diambil untuk mengukur suara warga Jakarta. Sampel responden 440 tidak merepresentasikan keseluruhan warga Jakarta.
"Apalagi dengan jumlah pemilih yang sekitar 7 juta, jumlah kecamatan 44, dan kelurahan lebih dari 250. Kalau sample di bawah 1000, tidak representatif. Harus di atas 1000. Kalau sampel di kisaran di bawah 1000, patut dipertanyakan reputasinya. Karena ini akan mewakili jumlah penduduk DKI," pungkas Yon.
Sebelumnya, survei terbaru dikeluarkan Indo Barometer menyebutkan jika pilkada DKI digelar hari ini, siapa pasangan yang dipilih? Pasangan Foke-Nara meraih 49,8 %. Disusul pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) 16,4 %, Alex Noerdin-Nono Sampono (5,7%), Hidayat Nurwahid-Didik J Rachbini (4,5%), Faisal Basri-Biem Benyamin (2,3%), dan Hendardji Supandji-A Riza Patria (0,2%).
Survei itu dilakukan terhadap 440 responden. Pada survei sebelumnya yang dilakukan lembaga lain, menyebutkan pasangan Fauzi Bowo dengan 36,65 %. Disusul Hidayat-Didik 18,47 %, Jokowi-Ahok 17,90 %, Faisal-Biem 4,05 %, Alex-Nono 3,59 %, dan Hendardji-Riza 1,39 %.
Survei ini dilakukan terhadap 1.500 responden di 5 kotamadya DKI Jakarta dan minus Pulau Seribu.
Sedangkan survei Pusat Kajian dan Pembangunan Stategis (Puskaptis) dengan responden 1250 orang, menyebut pasangan Foke-Nara 47,22%, Jokowi-Ahok 15,16%, Hidayat-Didik 10,28%, Faisal-Biem 3,17%, Alex-Nono 2,31%, dan Hendarji-Riza 1,55%.
http://artikel-up2det.blogspot.com/2012/08/lembaga-survei-diingatkan-jaga.html
Menilik peran SARA dalam pilkada
Pilkada putaran kedua DKI Jakarta tidak lama lagi akan segera digelar. Beberapa waktu lalu, KPUD telah menetapkan pelaksanaannya pada tanggal 20 September 2012 nanti.Dari enam pasangan yang bersaing di putaran pertama, hanya dua pasangan yang berhak mengantungi 'tiket' untuk mengikuti babak selanjutnya: Jokowi-Ahok vs Foke-Nachrowi.
Tentunya, hawa persaingan sengit kedua pasangan kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Ibu Kota Negara Republik Indonesia ini, sudah dapat dirasakan kehangatannya kini.
Belakangan, setelah putaran pertama bergulir-saat media televisi merilis pemetaan data perhitungan suara pilkada yang tengah berlangsung, berdasarkan klasifikasi kelompok-kelompok tertentu-dan setelah publik mengetahui hasil rekapitulasi perhitungan suara akhir yang diumumkan KPUD kemudian (20/7/), sontak saja isu 'SARA' tiba-tiba merebak di tengah-tengah masyarakat.
Padahal isu tersebut nyaris hampir tidak ada ditemukan pada putaran pertama. Entah siapa yang pertamakali menghembuskannya, yang jelas, kata 'SARA' seperti tersistematis dimanipulasi agar menjadi arus negatif, yang kemudian menjelma sebagai hantu untuk mengintimidasi masyarakat Jakarta.
Oleh banyak pihak, hal ini disebut-sebut telah mencederai perjalanan demokrasi yang telah tumbuh bersemi. Lebih lagi Pilkada DKI Jakarta, seharusnya menjadi contoh dan barometer bagi penyelenggaraan pilkada-pilkada lainnya di seluruh Indonesia.
Karena itu, sudah sepantasnyalah seluruh warga Jakarta harus bekerja keras dalam mengawal pilkada ini menjadi pilkada yang sehat, berkualitas dan teladan bagi daerah-daerah lainnya.
Setelah beberapa tragedi berdarah terkait SARA, pernah terjadi dan menorehkan sejarah kelam di negeri ini, termasuk di Jakarta sendiri, tentunya sangat meninggalkan tromatik yang mendalam.
Bagi siapapun yang benar-benar mencintai NKRI dengan semangat Pancasila, tentunya hal tersebut tidak akan pernah dikehendaki terjadi kembali.
Oleh karena itu, sudah menjadi hal tak dapat ditawar-tawar lagi, bahwa penyelenggaraan pilkada yang menggunakan isu ‘SARA’ harus henyah dan segera dihentikan!
Unsur kebinekaan
Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan atau disingkat SARA, bila cermati secara jernih, maka sejatinya kata itu merupakan cerminan (unsur) dari kebinekaan yang terintegrasi sebagai identitas bangsa-dan memiliki makna 'persatuan dan kesatuan' yang membingkai keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karenanya, hakikat penggunaan unsur SARA seharusnya-dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, dipergunakan untuk kepentingan positif, di antaranya yaitu; kepentingan menumbuhkembangkan rasa cinta dan kebanggaan akan tanah air; membangun rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia. Dan bukan SARA yang justru menjadikan perpecahan.
Dari sinilah, kita dapat menerjemahkan apa yang dikatakan Jimly Asshiddiqie dengan jernih-sebab sejatinya SARA adalah kekayaan budaya yang memiliki semangat dengan tujuan membingkai kesatuan dan persatuan, serta menumbuhkembangkan rasa bangga kita sebagai satu bangsa.
Bukan SARA yang justru bertujuan dan berdampak sebaliknya (negatif) terhadap keberlangsungan NKRI. Sebagai sebuah bangsa-Indonesia, memiliki keberagaman budaya, di mana di antaranya adalah: beragam Suku, beragam Agama, beragam Ras dan beragam Golongan, yang pada tiap-tiapnya memiliki ide dan gagasan hingga melahirkan kearifan yang begitu besar dan kaya raya, yaitu: kebudayaan Indonesia—serta memiliki kekayaan alam yang luar biasa terkandung di dalamnya.
Hal tersebut, tentunya merupakan potensi besar yang dapat mempengaruhi bagaimana bentuk pradaban masyarakat dunia kelak. Karena itu sudah seharusnyalah kita menggunakan potensi 'SARA' yang bangsa Indonesia miliki sebagai alat komunikasi internasional yang dapat mewujudkannya-menjadikan NKRI sebagai ‘trendsetters’ pradaban dunia.
Dari Pilkada DKI Jakarta inilah kita harus mulai membangunnya-dengan terlebih dahulu memberikan contoh baik penyelenggaraan pilkadanya kepada daerah-daerah lain di seluruh Indonesia.
Menjadikan fakta keberagaman SARA yang kita miliki menjadi satu kesatuan yang indah pada lukisan raksasa di 'kanvas' Nusantara. Sehingga mampu membangun nilai positif, serta menumbuhkembangkan rasa cinta dan tujuan mencapai hakikatnya berdemokrasi.
Hemat saya, penggunaan unsur SARA yang dimiliki bangsa Indonesia, tidak digunakan untuk kepentingan mempertahankan ataupun merebut kursi kekuasaan, baik itu pemilu kepala daerah maupun kepala negara atau lain sebagainya, hingga dapat menyebabkan perpecahan.
Melainkan sebagai mesin propaganda bangsa Indonesia di mata dunia internasional, agar mampu membangun semangat perdamaian, kerukunan, dan toleransi antar sesama umat manusia.
Kalaupun unsur SARA digunakan dalam pilkada DKI Jakarta atau pilkada di daerah seluruh Indonesia, tak lebih hanyalah sebatas 'informasi' yang berupa identitas diri seseorang dan bersifat positif, serta dapat menumbuhkan rasa persaudaraan (kebangsaan).
Jika negatif, maka siapapun yang mengusung isu SARA, harus dihentikan! Jika tidak, apa yang negara upayakan untuk Palestina dan Rohingya, seperti saat ini—dalam mewujudkan dan membangun perdamaian dan kerukunan di dunia, sebagaimana tertuang dalam narasi pembukaan UUD 1945, hanya berupa lawakan yang akan menertawakan dan mempermalukan diri kita (Indonesia) sendiri di mata dunia.
LINK GUNADARMA :
1. http://gunadarma.ac.id/
2. http://repository.gunadarma.ac.id/
3. http://staffsite.gunadarma.ac.id/
4. http://studentsite.gunadarma.ac.id/
5. http://baak.gunadarma.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar