Jumat, 17 Mei 2013

REVOLUSI DAN EVOLUSI BUDAYA




NAMA                  : MUHAMMAD NUR
KELAS               : 1 KA 11
NPM                   : 15112022
MATAKULIAH     : SOFSKILL 

~ REVOLUSI BUDAYA
~ EVOLUSI BUDAYA

Dalam pembahasan topik kedua dalam hal revolusi budaya yang mungkin saya menganalisa apa yang kumpulkan dari berbagai referensi dimana tema dalam arsip ini adalah REVOLUSI BUDAYA INDONESIA , secara pengertian kata “Revolusi “ yaitu perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial).
revolusi budaya saat ini seakan begitu deras mengikis secara perlahan akar budaya bangsa Indonesia, baik budaya bahasa moral serta agama.
Banyak factor yang menyebabkan budaya local dilupakan di masa sekarang ini. Masuknya budaya asing ke Indonesia sebenarnya merupakan hal yang wajar, asalkan budaya tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa. Namun pada kenyataanya budaya asing mulai mendominasi sehingga budaya local mulai dilupakan.

Suatu ironis kebudayaan sendiri dijauhi oleh anak muda sekarang. Tidak habis piker mengapa kaum muda sekarang lebih suka ala boyband/girlband, seksi dancer, hip hop yang sama sekali tidak mencerminkan ciri khas budaya Indonesia yang ramah, sopan dan berkepribadian luhur.Di Banjarbaru beberapa waktu lalu tepatnya di lapangan Murjani tarian tidak etis yang sering dikenal sebagai seksi dancer ditampilkan dalam suatu acara promosi salah satu perusahaan rokok. Aksi tarian itu ditampilkan di depan anak-anak di bawah umur yang berjarak hanya beberapa meter saja.
Bukanlah sesuatu hal yang aneh ketika pihak yang seharusnya mengingatkan malah ikut menikmati tarian energik yang identic dengan busana minim dipertontonkan tanpa ada pengawasan ataupun peringatan bagi anak di bawah umur. Sebagian orang menganggap itu hanya sebagai hiburan.
Di mana letak pengawasan orangtua saat anak-anal yang harusnya berada di rumah malah dibiarkan berkeliaran bukan pada tempat dan waktunya?

Dalam tinjauan psikologi perkembangan, peran orangtua dibutuhkan dalam mendampingi dan memberitahu bagaimana mereka bisa menyesuaikan diri pada perubahan, perkembangan dan adanya perbedaan di dalam lingkungan mereka. Anak-anak tidak bisa dibiarkan lepas ke dunianya sendiri.
Logika yang muncul, jika lingkungan mereka tidak tepat maka anak-anak ini akan mendapat dampak negatif, baik perubahan psikologinya ataupun kepribadiannya. Memang benar anak dibebaskan untuk memilih apa yang menurutnya itu cocok untuk dirinya. Di sinilah orangtua wajib mengarahkan dan membimbing. Pembelajaran seni tari pada anak usia dini sangat berpengaruh terhadap pola perkembangan anak yang ditandai dengan perkembangan motoric kasar dan motoric halus, pola bahasa dan piker, emosi jiwa serta perkembangan social anak.
Perjalanan Perkembangan Sejarah karakter dan moral Persatuan Bangsa Besar Indonesia di Abad ke 21 ini. Adapun kajian secara mendalam itu menyangkut berbagai aspek masalah dimensi sejarah perkembangan budaya karakter Bangsa Indonesia sepanjang eksistensinya mulai sejak Sumpah Pemuda tahun 1928 hingga pada jaman globalisasi (post)modern sekarang ini yang jelas telah ‘mengacaukan’ dan ‘mengkerdilkan’ jatidiri bangsa Indonesia.
Apa perlu diadakan ‘REVOLUSI KEBUDAYAAN’ setelah diadakan kajian atas realitas perjalanan sejarah perkembangan Budaya Karakter Bangsa Indonesia yang berlangsung dalam Indonesia Merdeka selama 67 tahun?
Lepas dari kenyataan yang ada bahwa pembangunan fisik (politik dan ekonomi) setelah 67 tahun Indonesia Merdeka telah berlangsung dengan pesat, namun saat ini dengan prihatin dapat dikatakan juga bahwa gerakan reformasi selama 14 tahun berlangsung sudah gagal, terutama dalam membangun karakter bangsa yang bermental dan bermoral ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan ‘Pancasila’. Karena sebagian besar pemimpin2 NKRI masih tetap bermental budaya jaman orde baru dengan sifat2 negatif materialisme dan pragmatisme (KKN. Serakah dll). Pendidikan, Budaya dan Agama yang seharusnya menjadi benteng etik, moral dan spiritual, juga sudah turut dalam ‘dekadensi moral’ karena secara terang-terangan sebagian pelakunya telah terkooptasi oleh keadaan tsb yang tidak dapat dikendalikan lagi. Maka tidak heran, secara konsep, budaya reformasi Indonesia mengalami inflasi, dansecara gerakan, budaya reformasi mengalami involusi. Muncul konsep konsep yang dangkal dan menyimpang dari hakekat dua prinsip dasar Republik Indonesia yang merdeka yakni ‘Bhineka Tunggal Ika’ dan ‘Pancasila’ sehingga terjadi keruwetan budaya yang luar biasa tanpa membawa perubahan karakter Negara dan Bangsa Indonesia (nation & character building) seperti bunyi retorika Bung Karno waktu ia berkuasa. Pimpinan nasional sekarangpun sudah terbawa oleh arus ‘budaya orde baru’ tsb yang sangat kental bersifat elitis feodalistis sentralistis dengan kebiasaan protokoler yang seremonial dan kaku maupun terlalu sibuk dengan koalisi partai2 politik yang sudah kehilangan moral jatidiri bangsa dan negara (ideologi dan idealisme kerakyatan) yang pernah dibentuk para pendiri Republik Indonesia 67 tahun yang lalu. Hampir tidak dirasakan adanya suatu “sense of urgency” dan “sense of solidarity” terhadap masalah-masalah krisis multi dimensional bangsa Indonesia akibat krisis mental dan moral tsb. Seakan-akan gerakan reformasi sedang berlangsung tanpa Tokoh Sentral yang dapat menjadi panutan disegala bidang kehidupan karena keterpurukan bangsa dan negara Indonesia dalam keadaan yang serba sulit. Lagipula nampaknya tidak ada Tema Sentral yang menjadi referensi bersama.
Karenanya, menurut hemat kami, Tema Sentral kepemimpinan era yang akan datang terlebih dahulu harus ditingkatkan dari pendekatan Reformasi ke pendekatan ‘REVOLUSI BUDAYA MENTAL’ disertai perobahan dan pembaharuan sistem pemerintahan yang lebih sederhana dan mudah dikontrol. Revolusi Kebudayaan Mental (‘cuci otak’ atau metanoia) disertai perobahan dan pembaharuan sistem Negara yang lebih sederhana, lebih desentralised dan terkontrol. Hal tsb. diharapkan dapat dilaksanakan oleh Pemimpin2 Negara yang akan datang agar dapat mengadopsi tema sentral tsb. untuk dijadikan referensi perjuangan gerakan REVOLUSI BUDAYA bagi seluruh bangsa. Apa salahnya, bahwa Tema Sentral setelah 67 tahun merdeka mengandung suatu budaya gaya hidup yang hemat dan sederhana, suatu mental manusia Indonesia yang lebih idealistis yang beretika dan bermoral dan bebas dari korupsi maupun nepotisme, serta melaksanakan dan menghargai suatu ‘rule of law’ yang berwibawa dan bersih. Dengan melaksanakan Revolusi Budaya disertai penyerdehanaan sistem pemerintahan dengan mekanisme kontrol yang tepat, maka mulai dari pimpinan negara, para pembantunya, aparat Kehakiman, Kejaksaan, Polri dan TNI, serta para anggota MPR, DPR dan DPD, dimulai dari Ibukota Jakarta sampai kedaerah otonom tingkat dua akan dapat menahan “nafsu” keserakahan budaya korupsi dan nepotisme.
        Di bidang Ekonomi sudah saatnya Revolusi Kebudayaan akan kembalikan kekuatan Bangsa Indonesia pada kekuatan budaya inisiatif dan kreativitas ekonomi rakyat dengan mengadakan pembangunan yang merata diseluruh kepulauan Indonesia dan bukan saja di sentra2 ekonomi di Jakarta dan pulau Jawa. Demikian juga bahwa kekayaan alam Indonesia tidak saja terkonsentrir dan dikuasai oleh segelintir pengusaha dan politisi kakap di Jakarta, tetapi juga diupayakan supaya harus merata dan dikuasai oleh anak bangsa sendiri diseluruh kepulauan Indonesia. Jelas kita perlu modal, tetapi modal harus dipahami sebagai pemodalan pemaksimalan Etos kerja yang merata pula. Yang paling utama adalah bahwa kita harus percaya pada kemampuan kita, konon memang yang tinggal kita punyai kini setelah krisis multi dimensional hanyalah:
 1. dua tangan kita yang bekerja
 2. otak yang kreatif
 3. hati yang penuh dengan semangat baja.
 Kita harus kembalikan budaya percaya diri ini, tanpa ketergantungan terlalu besar dari modal luar negeri.
        Budaya percaya diri dan harga diri untuk mencapai kemandirian sebagai budaya bangsa, harus sedini mungkin dimulaikan. Dengan demikian, kita didaerah dapat pula melakukan kontrol yang ketat terhadap kiprah budaya “gaya hidup korupsi dan nepotisme” yang diperlihatkan oleh pelaku-pelaku elit politik di daerah juga.
Sekali lagi, suatu perobahan budaya gaya hidup yang dimulaikan dari Jakarta sampai kedaerah bahkan sampai ke desa2 sekalipun harus mencerminkan keseriusan revolusi budaya mental yang bermoral Bangsa Indonesia dalam era globalisasi kehidupan sekarang ini.
Lepas dari masalah kepemimpinan nasional sebagai panutan Revolusi Budaya, kita diperhadapkan dengan pertanyaan yang sangat krusial, yakni:bagaimanakah Revolusi Budaya itu dapat terjadi atau dapat kita upayakansendiri di Indonesia? Dari pengalaman yang kita peroleh adalah ketidak mampuan mengaktualisasikan gagasan-gagasan dalam tindakan nyata. Dunia Indonesia yang sejahtera secara merata yang kita semua idamkan tidak akan terjadi hanya karena kita telah mengungkapkan dan mendiskusikan Reformasi kearah Revolusi Budaya dan Agama. Dunia Indonesia hanya akan berobah kalau kita sekalian mampu dan berani ikut merobahnya secara sadar dan revolusioner. Rakyat Indonesia harus bertekad tidak akan lagi memilih bahkan menyingkirkan pemimpin2 negara dan bangsa yang tidak peka dengan Revolusi Budaya tersebut. Apabila gagasan Revolusi Budaya telah diterjemahkan kedalam program tindakan, dan program tindakan telah direalisasikan kedalam tindakan nyata, maka kekhawatiran atas suatu gagasan yang semu, telah terjawab. Untuk melakukan Revolusi Budaya dan Agama, menurut Clifford Geertz kita memerlukan semacam “tenaga dalam” dan ‘tindakan nyata yang konsekwen’, yakni “…rasa berkewajiban dari dalam….menuntut penyerahan diri dan mengokohkan komitmen emosional untuk bertindak melakukan perobahan total”.
       
        Seorang Pemimpin Indonesia, bahkan para pemimpin Indonesia yang akan dipilih pada Pemilu dan Pemilihan Presiden/Wkl Presiden yad, mutlah harus berjiwa sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Geertz tsb.
        “Tenaga dalam dan tindakan yang nyata” yang disebut oleh Geertz sebagai “vitalitas moral dan tindakan yang bermoral dan berani” ini lahir oleh karena komitmen yang total kepada apa yang diyakini oleh Bangsa Indonesia yakni Karakter Bangsa Indonesia yang Merdeka yang bersandar kepada Nilai-Nilai luhur ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan ‘Pancasila’ sebagai dua dasar Negara Republik Indonesia yang abadi. Oleh karena ETOS adalah bagian atau saripati kebudayaan sebuah masyarakat, maka dengan ini jelaslah bahwa baik budaya maupun agama mempunyai fungsi dan potensi yang vital untuk menyumbang, mentransformasikan bahkan membentuk ‘kebudayaan baru’. Dan cara maupun mekanisme untuk membentuk ‘kebudayaan yang baru’ melalui suatu ‘Revolusi Kebudayaan’ dapat dilakukan oleh seorang Pemimpin Nasional yang baru maupun Pemimpin2 baru di pusat dan daerah dengan suatu methode yang pernah diciptakan oleh para ahli managemen organisasi yang berkumpul di MIT USA beberapa tahun lalu dan dilaporkan oleh Peter M Senge dalam bukunya ‘The Fifth Discipline’. Semangat ‘Revolusi Kebudayaan’ yang diaplikasikan bersama sama dengan penerapan ‘The Rule of Law’ sangatlah diharapkan Bangsa Indonesia dalam merayakan 67 tahun Indonesia Merdeka.
        Potensi, artinya suatu kemampuan yang tersimpan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Dalam kenyaataan, potensi ‘REVOLUSIKEBUDAYAAN’ tidak terjadi dengan sendirinya; Ia harus dengan sengaja diprakarsai dan diaktipkan. Oleh sebab itu, calon-calon pemimpin Bangsa Indonesia yang baru nanti, baik di pusat maupun di daerah-daerah harus mulai sekarang dicari dan diidentifikasi untuk diperlengkapi dengan suatu semangat dan metode ‘Revolusi Kebudayaan’. Dan bangsa Indonesia akan bersyukur memperingati ‘Sumpah Pemuda’ tahun 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 dengan suatu visi dan misi yang akan mentransformasikan mental dan moral Bangsa Indonesia melalui ‘Revolusi Kebudayaan’, Perobahan dan Pembaharuan Sistem Pemerintahan yang terkontrol, maupun penerapan ‘The Rule of Law’ yang konsekwen. Karena, hanya dengan ‘Semangat Revolusioner’ tersebut Bangsa Indonesia dapat melakukan perobahan total yang berarti demi lestarinya cita-cita Semangat Kerakyatan para Pelopor Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang didasari oleh hakekat nilai-nilai ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan ‘Pancasila’.
Faktor kedua yang menjadi penyebab buruknya kualitas negara dan berbagai persoalan negara Indonesia adalah tidak tersedianya budaya yang unggul atau bahkan buruknya kualitas budaya yang ada. Neo dan Chen dalam bukunya The Dynamic Governance (2008) menyebutkan tiga faktor utama tercapainya kemajuan Singapura seperti sekarang ini; yaitu (1) Dynamic Capabilities(kapabilitas dinamis) meliputi kemampuan melihat perubahan ke depan, kemampuan untuk terus menerus melakukan perbandingan dengan negara lain dan kemampuan untuk terus menerus memperbaiki sistem dan proses; (2)Culture, yang meliputi principle dan beliefs seperti budaya anti korupsi, budaya kinerja, meritokrasi, kehati-hatian dan berpikir jangka panjang; dan (3) Change, yaitu kemampuan melakukan inovasi dan menyusun kebijakan yang adaptif bagi perubahan lingkungan dan tuntutan masyarakat.
Ketiga faktor kemajuan tersebut tampaknya absen dalam penyelenggaran negara di Indonesia. Negara saat ini bukan saja tidak memiliki kapabilitas dinamis untuk menyusun perubahan-perubahan dalam rangka perwujudan tujuan-tujuan bernegara, tetapi tidak di dukung oleh budaya dasar yang menjadi prasyarat bekerjanya negara secara efektif, efisien, transparan, akuntabel dan berkinerja tinggi. Alih-alih budaya anti korupsi, sebaliknya budaya dominan yang ada saat ini tercermin dari perilaku penguasa pada umumnya adalah pembiaran terhadap berbagai kasus korupsi atau mungkin menjadi bagian dari korupsi. Korupsi sebagai budaya tampaknya tidak terhindarkan dalam berbagai praktek politik, pemerintahan dan birokrasi. Tidak mengherankan jika efektivitas pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK selalu mengalami jalan buntu. Hal ini selain karena tidak sebandingnya kemampuan kelembagaan KPK dengan jumlah dan kualitas kasus-kasus korupsi yang terjadi, juga karena pemberantasan korupsi saat ini lebih banyak dititikberatkan pada upaya represif daripada prenventif berupa perubahan budaya anti korupsi.
Di level birokrasi, budaya dominan yang ada saat ini adalah budaya kekuasaan dan bukan budaya kinerja. Promosi jabatan tidak didasarkan pada meritokrasi atas kompetensi dan kinerja, melainkan didasarkan pada afiliasi politik dan kepentingan. Budaya kinerja sebagai budaya unggul hampir tidak mungkin terjadi, karena pekerjaan-pekerjaan birokrasi tidak pernah diukur kinerjanya baik output maupun dampak. Pekerjaan birokrasi selalu berkait dengan orientasi proyek dan kepentingan untuk mendapatkan rente dari uang negara.
Berbagai persoalan tersebut tampaknya bermuara pada kelemahan budaya yang dimiliki oleh penguasa negara maupun masyarakat. Belajar dari pengalaman Cina, revolusi budaya (cultural revolution) merupakan salah satu fondasi penting dalam tahapan pencapaian Cina seperti sekarang ini. Revolusi budaya dilakukan di Cina dalam kurun waktu tahun 1966 sampai dengan tahun 1978, dengan melakukan perubahan radikal atas nilai dasar dan cara-cara bekerjanya semua penyelenggara negara. Perubahan budaya ini dilakukan dengan komitmen politik yang sangat tinggi dari pimpinan tertinggi negara atas semua kader Partai Komunis tentang nilai-nilai kemajuan yang harus dicapai oleh Cina dan menghentikan semua cara-cara lama yang tidak kondusif dalam mengelola negara. Hal ini mudah dilakukan di Cina karena sistem partai politik yang tunggal, serta kesatuan komando yang kuat dalam politik, ekonomi maupun birokrasi.
Revolusi budaya adalah perubahan radikal terhadap nilai (values), cetak pikir (mind set), cara pandang (way of thinking) dan cara hidup dan cara kerja (way of life) yang unggul dari semua penyelenggara negara, yaitu pimpinan lembaga negara, presiden, para menteri, politisi dan anggota dewan, kepala daerah, pejabat birokrasi dan tentu saja masyarakat sipil dan kalangan pengusaha. Budaya unggul harus menjadi gerakan nasional yang dipimpin oleh Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, misalnya saja budaya anti korupsi dan budaya berkinerja tinggi. Kedua budaya tersebut harus digelorakan dan menjadi darah daging oleh penyelenggara negara melalui berbagai macam gerakan pembudayaan dan internalisasi nilai. Perubahan budaya ini memang tidak bisa cepat selesai, meskipun demikian hal ini dapat diakselarasi melalui berbagai gerakan yang terencana dan komitmen politik yang tinggi dari Presiden. Itu sebabnya gerakan ini harus menjadi suatu revolusi yaitu gerakan yang dilakukan secara bersama-sama dalam waktu yang bersamaan. Penulis yakin, tanpa disertai dengan revolusi budaya maka berbagai macam perubahan sistem yang terjadi tidak akan memberikan dampak yang luar biasa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.


TEORI EVOLUSI KEBUDAYAAN






evolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap 'cepat' karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat —seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan— yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun.
Dialektika revolusi mengatakan bahwa revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat. Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan dan kemasyuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, China, Indonesia, dan banyak negara lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di negeri itu.
Dalam pengertian umum, revolusi mencakup jenis perubahan apapun yang memenuhi syarat-syarat tersebut. Misalnya Revolusi Industri yang mengubah wajah dunia menjadi modern. Dalam definisi yang lebih sempit, revolusi umumnya dipahami sebagai perubahan politik.
Sejarah modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula pada Revolusi Perancis, kemudian Revolusi Amerika. Namun, Revolusi Amerika lebih merupakan sebuah pemberontakan untuk mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi masyarakat yang bersifat domestik seperti pada Revolusi Perancis. Begitu juga dengan revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia. Maka konsep revolusi kemudian sering dipilah menjadi dua: revolusi sosial dan revolusi nasional.
Pada abad 20, terjadi sebuah perubahan bersifat revolusi sosial yang kemudian dikenal dengan Revolusi Rusia. Banyak pihak yang membedakan karakter Revolusi Rusia ini dengan Revolusi Perancis, karena karakter kerakyatannya. Sementara Revolusi Perancis kerap disebut sebagai revolusi borjuis, sedangkan Revolusi Rusia disebut Revolusi BolshevikProletar, atau Komunis. Model Revolusi Bolshevik kemudian ditiru dalam Perang Saudara Tiongkok pada 1949
Karakter kekerasan pada ciri revolusi dipahami sebagai sebagai akibat dari situasi ketika perubahan tata nilai dan norma yang mendadak telah menimbulkan kekosongan nilai dan norma yang dianut masyarakat.


  



A.    Latar Belakang
Evolusi merupakan sebuah kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita, apalagi jika konsep pembicaraannya mengenai perubahan. Kata evlolusi sangat berkaitan sekali dengan seorang tokoh yang bernama Charles Dharwin, dia adalah orang yang mempopulerkan kata-kata evolusi pertama kali. Evolusi yang dimaksudkannya disini adalah evolusi biologi makhluk hidup khususnya manusia. Namun, evolusi tidak bermakna sesempit itu apabila dikaitkan dengan kata “perubahan” termasuk perubahan kebudayaan. Berbagai macam pernyataan dan ungkapan yang mendukung serta menolak akan adanya evolusi tersebut. Kenapa hal itu bisa terjadi.
Terdapat beberapa pertanyaan yang membuat penulis perlu mengangkatkan judul makalah ini mengenai evolusi kebudayaan itu sendiri, diantaranya :
1.      Apa itu evolusi kebudayaan ?
2.      Bagaimana proses evolusi secara universal menurut para ahli ?
3.      Bagaimanakan Analogi Evolusi, antara evolusi biologi, evolusi kebudayaan dan seleksi alam ?
4.      Kenapa menghilangnya teori kebudayaan itu ?
Beberapa pertanyaan tersebut akan penulis paparkan dalam pembahasan berikut.
B.     Pembahasan
Berikut pembahasan penulis mengenai teori evolusi kebudayaan :
1.      Evolusi kebudayaan
Evolusi kebudayaan bisa didefenisikan sebagai suatu perubahan atau perkembangan kebudayaan, seperti perubahan dari bentuk sederhana menjadi kompleks (syaifudin, 2005 : 99) .Perubahan itu biasanya bersifat lambat laun. Paradigm yang berkaitan dengan konsep evolusi tersebut adalah evolusionalisme yang berarti cara pandang yang menekankan perubahan lambat-laun menjadi lebih baik atau lebih maju dari sederhana ke kompleks.
Tak berlebihan apabila dikatakan bahwa evolusionalisme dikatakan sebagai landasan awal bagi pembentukan berbagai paradigma dalam antropologi.  Menurut hemat penulis, meskipun sebagian paradigm saat ini mengatakan tidak sepakat dengan evolusionalisme namun secara sadar ataupun tidak sadar antropolog dan juga ahli ilmu social lainnya menggunakan ungkapan-ungkapan evolusionistik seperti “sederhana-kompleks”, “kemajuan-kemunduran”, “tradisional-modern”, atau “desa-kota” dalam menanggapi gejala sosial tetentu. Dengan kata lain, banyak pikiran dalam evolusionisme tetap hadir dalam paradigm-paradigma antropologi social budaya masa kini.

2.      Proses Evolusi Sosial Secara Universal menurut para ahli
Menurut konsep evolusi secara universal mengatakan bahwa masyarakat manusia berkembang secara lambat ( berevolusi ) dari tingkat-tingkat rendah dan sederhana menuju ke tingkat yang lebih tinggi dan kompleks. Dimana kecepatan perkembangannya atau proses evolusinya berbeda-beda setiap wilayah yang ada di muka bumi ini. Itu sebabnya sampai saat ini masih ada juga kelompok-kelompok manusia yang hidup dalam masyarakat yang bentuknya belum banyak berobah dari dahuu hingga saat ini kebudayaannya.
a)      Konsep evolusi social universal H. Spencer
1)      Teori mengenai asal mula religi
Spencer megatakan bahwa semua bangasa yang ada di dunia ini, religi itu dimulai dengan adanya rasa sadar dan takut akan maut. Spencer mengatakan bahwa bentuk religi yang tertua adalah religi terhadap penyambahan roh-roh nenek moyang moyang yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang yang telah meninggal. Bentuk religi yang tertua ini pada semua bangsa di dunia ini akan berevolusi ke bentuk religi yang lebih komplex yaitu penyembahan kepada dewa-dewa, seperti dewa kejayaan, dewa perang, dewa kebijaksaan, dewa kecantikan, dewa maut ( konetjaranigrat,1980:35 ) dan dewa lainnya.
Dewa-dewa yang menjadi pusat orientasi dan penyembahan manusia dalam tingkat evolusi religi seperti itu mempunyai cirri-ciri yang mantap dalam bayangan seluruh umatnya, karena tercantum dalam mitologi yang seringkali telah berada dalam bentuk tulisan.
Elovusi dari religi itu dimulai dari penyembahan kepada nenek moyang ke tingkat penyembahan dewa-dewa.Kebudayaan berevolusi karena didorong oleh suatu kekuatan mutlak yang disebut dengan evolusi universal. H.Spencer berpendapat bahwa perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari setiap bangsa di dunia akan melewati tingkat-tingkat yang sama. Namun Ia tidak mengabaikan fakta bahwa perkembangan dari tiap-tiap masyarakat atau sub-sub kebudayaan dapat mengalami proses evolusi dalam tingkat-tingkat yang berbeda.
Pada suatu bangsa misalnya, mungkin timbul keyakinan akan kelahiran kembali, dan karena dalam suatu religi seperti itu aka nada keyakinan bahwa roh manusia itu bisa dilahirkan kembali ke dalam tubuh binatang, maka terjadi suatu kelompok religi dimana manusia menyembah binatang atau roh binatang. Pada suatu masa binatang-binatang itu akan dianggap sebagai lambing dari sifat-sifat yang dicita-citakan atau ditakuti oleh manusia, seperti misalnya burung elang menjadi lambing kejayaan, gajah menjadi lambing kebijaksanaan, singa menjadi lambang peperangan dan sebagainya. Dengan demikian manusia yang menghormati binatang tadi mulai menghormati dewa kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa peperangan dan sebagainya, yang seringkali memang berwujud binatang.
Dalam permasalahan tersebut Spencer juga memberikan pandangannya terhadap proses evolusi secara umum. Spencer mengatakan, dalam evolusi sosial aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam masyarakat, adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling cocok dengan masyarakat di mana mereka hidup.
2)      Teori tentang evolusi hukum dalam masyarakat
Spencer mengatakan bahwa hukum yang ada dalam masyarakat pada awalnya adalah hukum keramat. Hukum keramat bersumber atau berasal dari nenek moyang yang berupa aturan hidup dan pergaulan. Masyarakat yakin dan takut, apabila melanggar hukum ini maka nenek moyang akan marah. Selanjutnya masyarakat manusia semakin komplex sehingga hukum keramat tadi semakin berkurang pengaruhnya terhadap keadaan masyarakat atau hukum keramat tersebut tidak cocok lagi.
Maka timbullah hukum sekuler yaitu hukum yang berlandaskan azas saling butuh-membutuhkan secara timbal balik di dalam masyarakat. Namun karena jumlah masyarakat semakin banyak maka dibutuhkan sebuah kekuasaan otoriter dari raja untuk menjaga hukum sekuler tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, timbullah masyarakat beragama sehingga kekuasaan otoriter Rajapun tidak lagi cukup. Untuk mengatasi hal tersebut , ditanamkanlah suatu keyakinan kepada masyarakat yang mengatakan bahwa raja adalah keturunan dewa sehingga hukum yang dijalankan adalah hukum keramat.
Pada perkembangan selanjutnya timbullah masyarakat industri,dimana kehidupan manusia semakin bersifat individualis yaitu suatu sifat yang mementingkan diri sendiri tanpa melihat kepentingan bersama. Sehingga hukum keramat raja tidak lagi mampu untuk mengatur kehidupan masyarakat. Maka munculah hukum baru yang berazaskan saling butuh-membutuhkan antara masyarakat. Lahirlah suatu hukum baru yang disebut dengan undang-undang.
Dalam masalah tersebut terakhir spencer sempat mengajukan juga pandangannya tentang makhluk yang bisa hidup langsung adalah yang bisa cocok dengan persyaratan yang terdapat dalam lingkungan alamnya. Maka dalam evolusi social aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan dalam masyarakat adalah hukum yang dapat melindungi kebutuhan para warga masyarakat adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling berkuasa, yang paling pandai, dan yang paling mampu. 
b)     Teori evolusi keluarga J.J. Bachofen
Menurut Bechofen bahwa di seluruh dunia ini, evolusi keluarga berkembang melalui empat tahapan ( Koentjaraningrat, 1980 ) yaitu sebagai berikut :
1.      Tahapan Promiskuitas : di mana manusia hidup serupa sekawan binatang berkelompok, laki-laki dan wanita berhubungan bebas…sehingga melahirkan keturuna tanpa ada ikatan ( Koentjaranigrat, 1980: 38 ) pada tahapan ini kehidupan manusia sama dengan kehidupan binatang yang hidup berkelompok. Pada tahapan ini, laki-laki dan perempuan bebas melakukan hubungan perkawinan dengan yang lain tanpa ada ikatan kelurga dan menghasilkan keturunan tanpa ada terjadi ikatan keluarga seperti sekarang ini
2.       Lambat laun manusia semakin sadar akan hubungan ibu dan anak, tetapi anak belum mengenal ayahnya melaikan hanya masih mengenal ibunya. Dalam keluarga inti, ibulah yang menjadi kepala keluarga dan yang mewarisi garis keturunan. Pada tahapan ini disebut tahapan matriarchate. Pada tahapan ini perkawinan ibu dan anak dihindari sehingga muncullah adat exogami.
3.       Sistem Patriarchate : dimana ayahlah yang menjadi kepala keluarga serta ayah yang mewarisi garis keturunan. Perubahan dari matriarchate ke tingkat patriarcahte terjadi karena laki-laki merasa tidak puas dengan situasi keadaan sosial yang menjadikan wanita sebagai kepala keluarga. Sehingga para pria mengambil calon istrinya dari kelompok-kelompok yang lain dan dibawanya ke kelompoknya sendiri serta menetap di sana. Sehingga keturunannyapun tetap menetap bersama mereka.
4.       Pada tahapan yang terakhir, patriarchate lambat laun hilang dan berobah menjadi susunan kekerabatan yang disebut Bachofen susunan parental. Pada tingkat terakhir ini perkawinan tidak selalu dari luar kelopok (exogami) tetapi juga dari dalam kelompok yang sama (endogami). Hal ini menjadikan anak-anak bebas berhubungan langsung dengan kelurga ibu maupun ayah.
c)      Teori evolusi kebudayaan di Indonesia, G.A. Wilken
Ia merumuskan teori-teori tentang sejumlah gejala kebudayaan dan kemasyarakatan, misalnya tentang teknonimi atau tentang hakikat mas kawin. Menurut Wilken pada pada mulanya hanya merupakan alat untuk mengadakan perdamaian antara pengantin pria dengan pengantin wanita setelah berlangsung kawin lari suatu kejadian yang sering terdapat dalam masa peralihan antara tingkat matriakat ke tingkat patriakat.
d)     Teori evolusi kebudayaan L.H Morgan
Ia mencoba melukiskan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia melalui delapan tingkat evolusi kebudayaan. Menurutnya, masyarakat dari senua bangsa di dunia sudah atau masih menyelesaikan proses evolusinya melalui delapan tingkat berikut :
1)      Zaman liar tua, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan api; dalam zaman ini manusia hidup dari meramu, mencari kar-akar dan tumbuhan-tumbuhan liar.
2)      Zaman liar madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai ia menemukan senjata busur panah; dalam zaman ini manusia mulai merobah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari ikan di sungai atau menjadi pemburu.
3)      Zaman liar muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan busur panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat barang-barang tembikar; dalam zaman ini mata pencaharian hidupnya masih berburu.
4)      Zaman barbar tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat tembikar sampai ia mulai beternak atau bercocok tanam.
5)      Zaman barbar madya, yaitu zaman sejak manusia beternak atau bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam.
6)      Zaman barbar muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam, sampai ia mengenal tulisan.
7)      Zaman peradaban purba, menghasilakan beberapa peradapan klasik zaman batu dan logam.
8)      Zaman perdaban masa kini, sejak zaman peradapan klasik sampai sekarang.
e)      Teori Evolusi Religi E.B. Tylor
E.B.Tylor berpendapat, asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran ini disebabkan oleh dua hal: ( Koentjaraningrat 1980:48)
1)      Adanya perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Manusai sadar bahwa ketika manusai hidup ada sesuatu yang menggerakkan dan kekuatan yang menggerakkan manusia itu disebut dengan jiwa
2)      Peristiwa mimpi, di mana manusia melihat dirinya di tempat lain ( bukan di tempat ia sedang tidur ). Hal ini menyebabkan manusia membedakan antara tubuh jasmaninya yang berada di tempat tidur dengan rohaninya di tempat-tempat lain yangdisebut jiwa.
Selanjutnya Tylor mengatakan bahwa jiwa yang lepas ke alam disebutnya denga roh atau mahluk halus. Inilah menyebabkan manusia berkeyakinan kepada roh-roh yang menempati alam. Sehingga manusia memberikan penghormatan berupa upacara doa, sesajian dll. Inilah disebut Tylor sebagai anamism.
Pada tingkat selanjutnya manusia yakin terhadap gejala gerak alam disebabkan oleh mahluk-mahluk halus yang menempati alam tersebut. Kemudian jiwa alam tersebut dipersonifikasikan sebagai dewa-dewa alam. Pada tingkat selanjutnya manusia yakin bahwa dewa-dewa tersebut memiliki dewa tertinggi atau raja dewa. Hingga akhirnya manusia berkeyakinan pada satu Tuhan.
f)        Teori Mengenai Ilmu Gaib dan Religi J.G. Frazer
Pada mulanya manusia hanya menggunakan akalnya untuk memecahkan masalah. Namun lambat laun sistem pengetahuan manusai semakin terbatas untuk memecahkan masalah bahkan tidak sanggup lagi memecahkan masalah. Sehingga manusia memecahkannya dengan magic, ilmu gaib. Magic adalah semua tindakan manusia untuk mencapai sesuatu dengan menggunakan kekuatan-kekuatan alam dan luar lainnya. (Koentjaraningrat 1980:54)
Namun dalam perkembangan selanjutnya kekuatan magic tersebut tidak selamnya berhasil. Maka manusia mulai sadar bahwa di alam ini ada yang menempatinya yaitu mahluk-mahluk halus. Mulailah manusai mencari hubungannya dengan mahluk-mahluk halus tersebut. Dengan itu timbullah religi. Religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk memproleh sesuatu dengan cara memasrahkan diri kepada penciptanya.
3.      Analogi Evolusi, antara evolusi biologi, evolusi kebudayaan dan seleksi alam
Tidak ada persoalan dengan pandangan bahwa kebudayaan itu berevolusi. Manusia menjadi pemburu dan peramu, menggunakan peralatan disamping otot-otot dan gigi-geligi. Manusia mulai menanam tumbuh-tumbuhan dan memelihara hewan untuk memenuhi kebutuhan akan makanan, manusia membangun kota dan sistem politik yang kompleks. Perubahan-perubahan kebudayaan ini dijelaskan oleh seleksi alam meskipun perilaku budaya tidak memiliki komponen genetic untuk diwariskan.
Proses seleksi alam membutuhkan tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu ;
Pertama, seleksi alam memerlukan variasi agar bisa bekerja.
Kedua, harus ada reproduksi yang berkelanjutan.
Ketiga, harus ada mekanisme yang memperbanyak unsur-unsur pengubah kebudayaan tersebut.
Dalam evolusi biologi, variabelitas berasal dari rekombinasi genetic dan mutasi. Sedangkan dalam evolusi kebudayaan variabelitas dating dari rekombinasi perilaku yang dipelajari dan dari penemuan-penemuan. Kebudayaan tidaklah tertutup atau terisolasi seperti halnya spesies. Suatu spesies tidak akan meminjam unsure-unsur genetic dari spesies lain, tapi kebudayaan dapat meminjam hal-hal baru dan perilaku dari kebudayaan lain. Sebagai contoh, cara bertanam jagung di suatu daerah dapat diterapkan juga di daerah-daerah lain.
Perilaku juga cenderung mengalami seleksi seperti halnya seleksi pada ukuran tubuh atau ketahanan terhadap penyakit. Meskipiun perilaku tidak diwariskan secara genetic kepada generasi selanjutnya, orang tua yang menunjukkan unsure-unsur perilaku adaptif lebih cenderung “menciptakan” unsure-unsur itu kepada anak-anaknya, yang dipelajari melalui peniruan maupun ajaran orang tua.
Orang tua dan anak-anak juga mungkin meniru perilaku adaptif orang-orang di luar keluarga. Dengan demikian, meskipun evolusi biologi dan evolusi kebudayaan tidak sama, cukup beralasan untuk berasumsi bahwa seleksi alam secara umum bisa bekerja pada gen maupun perilaku budaya. Inilah antara lain yang penulis maksud dengan analogi evolusi.
4.      Menghilangnya teori-teori evolusi kebudayaan
Pada akhir abad ke-19 mulai timbul kecaman-kecaman terhadap cara berfikir dan cara bekerja para sarjana penganut evolusi kebudayaan. Kecaman mulai menyerang detail dan unsure-unsur tertentu dalam berbagai karangan dari para penganut teori-teori tersebut, kemudian meningkat menjadi serangan-serangan terhadap konsepsi dasar dari teori-teori tentang evolusi kebudayaan manusia.
Pengumpulan bahan keterangan baru, terutama sebagai hasil penggalian-penggalian serta bertambah banyaknya aktivitas-aktivitas penelitian para ahli antropologi sendiri. Dengan demikian mulai tampak bahwa tingkat-tingkat evolusi para penganut teori-teori evolusi dari para penganut teori-teori evolusi kebudayaan itu hanya merupakan konstruksi-konstruksi pikiran saja, yang tidak sesuai dengan kenyataan dan yang lama-kelamaan tidak dapat di pertahnkan lagi.
Pada permulaan abad ke-20 hampir tidak ada lagi karya antropologi berdasarkan konsep evolusi. Hanya kira-kira sekitar 1930 tampak adanya penelitian-penelitian antroplogi berdasarkan konsep-konsep itu di Uni Soviet. Dalam tahun 1940-an muncul beberapa ahli antropologi Inggris dan Amerika yang menghidupakan lagi konsep-konsep mengenai teori evolusi kebudayaan., tetapi yang sama bagi semua bangsa di dunia. 
C.    Penutup
Evolusi sebelum abad ke-19 sangat erat sekali dengan para tokoh antropolog. Hingga bermuncullah tokoh-tokoh antropolog yang mengeluarkan konsep-konsep mengenai evolusi itu sendiri. Misalnya saja seperti H. SPENCER dengan teori evolusi universalnya, J.J. Bachofen dengan teori evolusi keluarga, G.A Wilken dengan teori kebudayaan di Indonesia, serta tokoh-tokoh antropologi lainnya. Hingga menghilangnya pemakaian teori evolusi dalam kurun abad ke 19 dan dimunculkan lagi abad ke 20 oleh ahli antropolog Uni Soviet, Inggris dan Amerika.



DAFTAR REFERENSI
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antroplogi. Jakarta. UI PRESS : 1987
Fedyani, achmad. Antropologi Kontenporer. Jakarta. Kencana : 2005
Keesing, samuel. Antropologi Budaya. Jakarta. Erlangga : 1989